Mengulik Pentingnya Konstruksi Anti-Gempa Berkaca Dari Tragedi Gempa Cianjur
Indonesia menjadi salah satu negara yang berada di kawasan cincin api (ring of fire) sehingga memiliki ratusan gunung berapi aktif dan sangat rentan terjadi bencana gempa bumi.
Sepanjang tahun 2022, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat telah terjadi banyak sekali bencana gempa bumi di Indonesia. Salah satunya yang kini tengah viral dan menjadi sorotan berbagai media baik dalam negeri maupun luar negeri yaitu Bencana Gempa Bumi di Cianjur, Jawa Barat.
Bencana gempa bumi yang terjadi di Cianjur ini telah menewaskan banyak korban jiwa baik anak-anak maupun orang dewasa. Hal ini mengundang banyak perhatian masyarakat Indonesia di seluruh penjuru Tanah Air dari Sabang sampai Merauke.
Pakar kegempaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Danny Hilman Natawidjaja, menyebut konstruksi bangunan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya banyak korban jiwa akibat gempa Cianjur.
Oleh karena itu, bangunan tahan gempa sangat dibutuhkan di Indonesia sebagai upaya untuk mencegah atau memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian akibat gempa bumi.
Guna mewujudkan upaya tersebut, penerapan sistem konstruksi anti-gempa untuk bangunan bahkan gedung bertingkat harus mulai dilakukan secara serius.
Pasalnya, runtuhnya bangunan akibat gempa juga mengakibatkan kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit. Apalagi gedung dengan struktur lemah yang jauh lebih mudah runtuh akan berpotensi mengakibatkan tingginya angka kematian.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebut bahwa pihaknya akan membangun kembali rumah rusak berat atau runtuh akibat gempa bumi Cianjur. Konsep yang diperkirakan akan digunakan saat ini adalah Rumah Instan Sehat Sederhana (RISHA).
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia mengalami kerugian bangunan runtuh akibat gempa mencapai Rp 42,4 triliun pada tahun 2018.
Sehingga berinvestasi dalam struktur tahan gempa juga dapat menjadi langkah Indonesia untuk menghemat dana. Namun sayangnya, penerapan struktur bangunan anti-gempa ini masih didominasi oleh wilayah-wilayah maju seperti Jakarta. Tidak seperti pedesaan dan masyarakat miskin yang harus puas dengan infrastruktur yang buruk.
Salah satu contoh penerapan konstruksi anti-gempa untuk gedung pencakar langit Ibu Kota Jakarta adalah Menara Astra di Sudirman.
Dilansir dari Bloomberg, Senin (28/11/2022), Menara Astra yang dibangun setinggi 51 lantai ini menerapkan konstruksi anti-gempa yang disebut dengan belt-truss atau rangka sabuk.
Penerapan sistem rangka sabuk ini berfungsi menghubungkan dinding inti dan bingkai perimeter untuk mengurangi getaran serta perpindahan dalam bangunan.
Bahkan bangunan tersebut juga difasilitasi dengan lantai perlindungan yang mampu menjadi tempat para pekerja untuk berlindung dalam situasi bencana yang ekstrem. Sehingga fasilitas ini dinilai menjadi perlindungan tambahan bagi bangunan mengingat sistem rangka sabuk terletak di lantai perlindungan.
Menara Astra merupakan gedung pertama yang menerapkan teknik konstruksi ini seperti halnya di Jepang dan Amerika Serikat
Selain Menara Astra, adapun gedung mixed-use Thamrin Nine di Thamrin, Jakarta Pusat yang juga menggunakan konstruksi anti-gempa dengan nama sistem cadik.
Pada tahun 2012 lalu, Indonesia telah membuat standar nasional untuk desain tahan gempa dan memperbarui manual untuk meningkatkan ketahanan gempa di bangunan yang lebih besar.
Dimana bangunan dengan tinggi lebih dari 40 meter di Jakarta harus dirancang sesuai dengan kode Desain Gempa Nasional Indonesia.