Mengenal Sejarah Tol Jagorawi, Tol Pertama dan Terbaik di Indonesia
Pemerintah hingga saat ini masih terus menggenjot pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru Tanah Air demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, konektivitas, serta daya saing.
Salah satu proyek infrastruktur yang terus dikembangkan adalah infrastruktur jalan bebas hambatan berbayar alias jalan tol.
Sepanjang 2021, Indonesia tercatat telah memiliki setidaknya 2.400 kilometer ruas jalan tol yang telah beroperasi dan tersebar di beberapa wilayah mulai dari Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Dengan demikian, Angka ini menunjukkan bahwa jalan tol di negeri ini mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada 7 tahun masa kepemimpinan presiden Joko Widodo yang diketahui telah berhasil membangun jalan tol sepanjang 1.900 kilometer.
Meskipun demikian, tonggak sejarah pembangunan jalan tol pertama di Indonesia tidaklah dibangun saat era Jokowi, melainkan dibangun sejak pemerintahan Presiden Soeharto di rezim Orde Baru (Orba) pada 1973.
Jalan bebas hambatan berbayar atau jalan tol pertama yang dibangun di indonesia bernama Jagorawi. Nama “Jagorawi” ini sendiri merupakan kepanjangan dari Jakarta-Bogor-Ciawi yang tentunya tidak asing lagi di telinga masyarakat yang tinggal di daerah Jabodetabek.
Jalan tol Jagorawi memiliki total panjang 59 kilometer yang terhitung dari jalan akses masuk dan juga akses keluar. Pembangunan jalan tol yang dikelola oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk ini dibangun untuk menggerakkan perekonomian daerah sekitar Jakarta
Jalan tol ini diresmikan oleh Presiden ke-2 RI Soeharto pada 9 Maret 1978 atau 44 tahun silam. Dalam peresmian jalan tol Jagorawi kala itu, Soeharto menyebut Jalan Tol Jagorawi merupakan jalan terbaik yang indonesia miliki.
Namun Soeharto tidak sendiri, peresmian jalan tol itu dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) Sutami, Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tjokropranolo, dan Gubernur Provinsi Jawa Barat Aang Kunaefi.
Kemudian, Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat untuk Indonesia Edward E Masters serta Dubes Korea Selatan untuk Indonesia Jae Suk Lee.
Meskipun dibangun dan diresmikan di era Orba, Wacana pembangunan Jalan Tol Jagorawi bukan sepenuhnya murni ide dari Soeharto. Melansir dari situs BUMN Info, ide awal pembangunan jalan tol pertama kali ini dicetuskan oleh Wali Kota (sekarang disebut Gubernur) Jakarta saat itu yaitu Raden Sudiro pada tahun 1955 silam.
Sudiro sendiri memimpin Kota Praja Jakarta Raya pada 1953-1960. Mengutip buku berjudul Sudiro: Pejuang Tanpa Henti, Soediro yang menggagas pembangunan jalan tol pertama ini bermula dari kondisi kas Jakarta yang menipis. Ini terjadi sebagai imbas dari pengeluaran besar-besaran untuk membiayai pembangunan Jalan Soedirman dan M. H. Thamrin.
Dengan membangun jalan bebas hambatan berbayar, maka diharapkan dapat menambah pemasukan. Pada 1955, Soediro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta resmi mengajukan usulan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS).
Namun, Usulan ini ditolak keras oleh sebagian besar anggota dewan karena pembangunan jalan tol tersebut dinilai berisiko menghambat kelancaran lalu lintas. Tidak hanya itu, konsep jalan yang memungut pajak ini dianggap menimbulkan perpecahan, seperti masa kolonial Belanda.
Tak berhenti sampai di situ, ide Sudiro kembali bergaung pada Tahun 1966. Namun, lagi-lagi hanya berlalu begitu saja. Empat tahun kemudian tepatnya saat Presiden Soeharto berkuasa, Ide yang sama kembali diusulkan oleh Menteri PUTL Sutami.
Dia meminta agar pemerintah membangun jalan bypass Jakarta-Bogor karena kemacetan begitu terasa seiring bertambahnya jumlah kendaraan.
Berangkat dari fenomena tersebut, gagasan pembangunan jalan tol mulai dipikirkan, termasuk soal biaya. Hingga akhirnya, pembangunan Tol Jagorawi pun dimulai Tahun 1974.
Proyek raksasa ini menelan biaya hingga 350 juta per kilometer jalan. Mengutip dari buku Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas, M. Sudarta mengungkapkan bahwa nominal tersebut bertambah menjadi 575 juta rupiah per kilometer pada 1990 yang dihitung dengan kurs rupiah saat itu. Selain menelan biasa sangat besar, Tol Jagorawi sekaligus menjadi proyek pertama yang didanai APBN dan utang luar negeri.
Adapun kontraktor asing yang ditunjuk pemerintah pada saat itu yaitu Hyundai Construction Co dari Korea Selatan dengan konsultan supervisi Ammann-Whitney & Trans Asia Engineering Associates Inc dari AS.
Penggunaan kontraktor asing itu sempat menuai kontroversi dari banyak kalangan karena dianggap mengenyampingkan peran anak bangsa. Meski begitu, Soeharto menegaskan banyak orang Indonesia juga terlibat dalam pembangunan tol tersebut.
“Walaupun kontraktornya dari luar negeri, namun tidak sedikit pula pikiran dan tenaga kita yang ikut serta menyelesaikan jalan istimewa itu,” tegas dia.
Sebagai informasi, Tol Jagorawi digarap oleh 89 Tenaga Pengendalian Bina Marga Kementerian PUTL. Sebanyak 129 Tenaga Pengawas Pekerjaan dan 2.711 Pelaksana Pekerja secara keseluruhan berasal dari Indonesia.
Namun, ada juga tujuh Tenaga Pengawas Pekerjaan asal AS dan 172 Pelaksana Pekerja asal Korea Selatan.
Hingga 9 Maret 1978, ruas Jakarta (Cawang)-Cibinong sepanjang 27 kilometer diresmikan Soeharto sebagai jalan tol pertama di Indonesia.
Setahun kemudian, ruas Cibinong-Bogor dan Bogor-Ciawi pun diresmikan. Untuk pelaksanaan operasional tol tersebut, dibentuklah Jasa Marga Cabang Jagorawi.
Pengoperasian Jagorawi ini juga menjadi sejarah lahirnya Jasa Marga sebagai perusahaan pengembang dan operator jalan tol di Indonesia.
Jagorawi dianggap sebagai masterpiece (mahakarya) karena struktur konstruksi masih prima dan penataan lanskap hijau yang memberikan suasana segar bagi pengguna jalan tol.
Bahkan, Tol Jagorawi juga meraih sertifikasi bintang tiga dari International Road Assessment Programme (iRAP) untuk tingkat keselamatan.
Akhir tahun lalu, Jagorawi bersama dua tol lainnya yang dikelola Jasa Marga yakni Tol Sedyatmo dan Tol Pandaan-Malang meraih predikat jalan tol terbaik di Indonesia.
Adapun penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam rangka memberikan penilaian Jalan Tol Berkelanjutan.